1.
PERMASALAHAN KREDIT BANK KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
Banyak orang beranggapan bahwa permasalahan kredit atau pembiayaan hanya merupakan masalah pada lembaga perbankan. Namun dibalik itu ternyata bank sangat memperhatikan kondisi ekonomi dalam meyalurkan kredit atau pembiayaan. Pertanyaannya: apa yang membedakan bank konvensional dan bank syariah dalam menganalisa kondisi ekonomi?
Peranan sektor perbankan sudah tidak dapat diragukan lagi bahwa memang sangat diperlukan untuk membangkitkan kembali kegiatan perekonomian. Peranan tersebut akan sangat ditentukan oleh strategi pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kehadiran
bank syariah di tengah-tengah perbankan konvensional dilakukan untuk
mengantisipasi tantangan sistem keuangan yang semakin maju dan kompleks serta
untuk mempersiapkan infrastruktur memasuki era globalisasi. Jadi, adopsi
perbankan syariah tidak hanya untuk menawarkan sistem perbankan alternatif bagi
umat Islam di Indonesia yang membutuhkan atau ingin memperoleh layanan jasa perbankan
tanpa harus melanggar riba,namun lebih kepada adanya faktor keunggulan atau
manfaat lebih dari perbankan syariah dalam menjembatani ekonomi. Pada
prinsipnya, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannnya kepada masyarakat, dengan misi meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Menurut teori dampak langsung ketika
suku bunga perbankan diturunkan adalah meningkatnya keinginan masyarakat untuk
meminjam dana dari sektor perbankan. Untuk
kalangan pengusaha ini merupakan kabar baik karena biaya untuk meminjam
dana (cost of fund) menjadi lebih murah. Buat perbankan hal ini dapat
menjadi peluang untuk menyalurkan dana yang selama ini mengendap di lemari besi
sehingga mendatangkan keuntungan.
Teori di atas didasarkan pada
asumsi ceteris paribus atau faktor-faktor lain selain suku
bunga dianggap tetap. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, asumsi ini kurang
tepat karena banyak hal lain yang bisa menentukan keinginan seseorang untuk
meminjam dana seperti misalnya prospek perekonomian ke depan. Data menunjukkan
variabel pertumbuhan PDB riil dan variabel pertumbuhan kredit riil di Indonesia
memiliki pola pergerakan yang searah atau pro-cyclical. Kredit riil
di sini didefinisikan sebagai jumlah kredit riil yang disalurkan untuk
keperluan konsumsi, investasi, dan modal kerja. Pada gambar berikut terlihat
ketika pada akhir tahun 2004 siklus pertumbuhan PDB riil mencapai puncak,
variabel pertumbuhan kredit riil juga tengah mengalami boom namun
baru di kuartal III-2005 mencapai puncak.
Analisis Pembiayaan Pada Perbankan
di Indonesia
(Konvensional dan Syariah)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam analisis pembiayaan di bank syariah adalah sebagai berikut:
Pendekatan analisis pembiayaan Ada beberapa
pendekatan analisa pembiayaan yang dapat diterapkan oleh para pengelola bank
syariah dalam kaitannya dengan pembiayaan yang akan dilakukan, yaitu:
1. Pendekatan
jaminan, artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu memperhatikan
kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.
2. Pendekatan
karakter, artinya bank mencermati secara sungguh-sungguh terkait dengan
karakter nasabah.
3. Pendapatan
kemampuan kepuasan, artinya bank menganalisis kemampuan nasabah untuk melunasi
jumlah pembiayaan yang telah diambil.
4. Pendekatan
dengan studi kelayakan, artinya bank memperhatikan kelayakan usaha yang dijalanankan
oleh nasabah peminjam.
5. Pendekatan
fungsi-fungsi bank, artinya bank memperhatikan fungsinya sebagai lembaga intermediary keuangan,
yaitu mengatur mekanisme dana yang dikumpulkan dengan dana yang
disalurkan.
Prinsip Analisis Pembiayaan
Prinsip analisis pembiayaan
didasarkan pada rumus 5C yaitu:
1. Character artinya
sifat atau karakter nasabah pengambil pinjaman.
2. Capacity artinya
kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan mengambalikan pinjaman yang
diambil.
3. Capital artinya
besarnya modal yang diperlukan peminjam.
4. Colateral artinya
jaminan yang telah dimiliki yang diberikan peminjam kepada bank.
5. Condition artinya
keadaan usaha atau nasabah prospek atau tidak.
Prinsip 5C tersebut terkadang
ditambahkan dengan 1C, yaitu Constraint artinya hambatan-hambatan yang mungkin
mengganggu proses usaha.
Tujuan Analisis Pembiayaan
Analisis
pembiayaan memiliki dua tujuan, yaitu : tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum analisis pembiayaan adalah : pemenuhan jasa pelayanan
terhadap kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan
perdagangan, produksi, jasa-jasa, bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sedangkan tujuan khusus analisis
pembiayaan adalah :
1. Untuk
menilai kelayakan usaha calon peminjam
2. Untuk
menekan risiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan
3. Untuk
menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak
Prosedur Analisis Pembiayaan
Aspek-aspek penting dalam analisis
pembiayaan yang perlu dipahami oleh pengelola bank syari’ah :
1. Berkas dan
pencatatan
2. Data pokok
dan analisis pendahuluan
a. Realisasi
pembelian, produksi dan penjualan
b. Rencana
pembelian, produksi dan penjualan
c. Jaminan
d. Laporan
keuangan
e. Data
kualitatif dari calon debitur
3. Penelitian
data
4. Penelitian
atas realisasi usaha
5. Penelitian
atas rencana usaha
6. Penelitian
dan penilaian barang jaminan
7. Laporan
keuangan dan penelitiannya
Keputusan Permohonan
Pembiayaan
1. Bahan
pertimbangan pengambilan keputusan
2. Wewenang
pengambilan keputusan
Aspek yang Dianalisis
Ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan oleh pejabat bank dalam melakukan analisis pembiayaan, diantaranya
adalah :
1. Aspek
yuridis
2. Calon
debitur cakap hukum
3. Usahanya
tidak liar
4. Aspek
pemasaran
5. Sikus hidup
produk
6. Produk
subtitusi
7. Perusahaan
pesaing
8. Tingkat
kemampuan daya beli masyarakat
9. Program promosi
10. Daerah
pemasarannya
11. Faktor musim
12. Manajemen
pemasaran
13. Kontrak
penjualan
14. Aspek teknis
15. Lokasi usaha
16. Fasilitas
gedung bangunan usaha
17. Mesin-mesin
yang dipakai
18. Proses
produksi
19. Aspek
keuangan
20. Kemapuan
memperoleh untung
21. Sisa-sisa
pinjaman dengan pihak lain
22. Beban rutin
diluar kegiatan usaha
23. Arus kas
(cash flow)
24. Aspek
jaminan
25. Syarat-syarat jaminan
26. Syarat
ekonomis
27. Syarat
yuridis
Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif terkait dengan
data-data nonkeuangan nasabah. Metode yang digunakan pada umumnya
adalah dengan membandingkan informasi yang ada dengan standar industri,
sehingga resiko yang ada dapat dipahami. Selanjutnya, Bank dapat mengantisipasi
terhadap resiko yang akan timbul. Ruang lingkup yang dianalisis dibahas dalam
pembahasan berikut ini.
Aspek Manajemen
Kemampuan nasabah dalam rangka
mengelola usahanya dapat dilihat dari riwayat dan pengalaman nasabah. Faktor
usia, bahkan kondisi keluarga seringkali menjadi faktor yang sangat penting
untuk diketahui, terlebih untuk mikro dan kecil. Pada kondisi seperti ini,
pembiayaan yang akan diberikan oleh bank harus dilakukan memiliki pengalaman
yang tepat dan disertai pembelajaran kepada nasabah untuk memperbesar kegiatan
usahanya dimasa mendatang. Aspek manajemen dalam hal ini adalah sesuatu yang
melekat kepada pengelolanya. Adapun ruang lingkup yang ditelaah adalah
menyangkut rekam jejak (track record)
atau pengalaman individu dan sistem manajemen dalam usaha yang dikelola saat
ini.
Aspek Usaha
·
Produksi atau Pengadaan Barang
Dalam dunia
industri, aspek produksi ini meliputi proses pengadaan bahan baku, proses
menjadi barang setengah jadi sampai menjadi barang jadi, dan proses penyimpanan
stok persediaan. Pengadaan barang dagangan dan penyimpanannya adalah hal yang
biasa ditemui pada usaha perdagangan. Data yang dianalisis adalah sebagai
berikut.
1.
Pemasok (supplier)
a. Siapakan
pemasok pertama bahan baku ?
b. Berapakah
jumlah pemasok atau pemasok adalah pemasok tunggal ?
c. Jika pemasok
pertama keluar maka apakah ada pemasok lain yang dapat memberikan bahan baku
yang diperlukan ?
d. Sanggupkah
pemasok mengirimkan bahan baku ?
e. Kejadian-kejadin
apa saja yang dapat menggagalkan pengiriman bahan baku ?
2. Harga bahan
baku
a. Apakah
faktor-faktor mempengaruhi harga bahan baku ?
b. Bagaimana situasi
harga di masa mendatanag ?
c. Apakah ada
bahan baku pengganti yang dapat diterima ?
d. Apakah ada
pengaruh bahan baku pengganti terhadap biaya produksi, kualitas produksi, dan
permintaan produk akhir ?
3. Kontinuitas
pasokan bahan baku
a. Adakah
kejadian-kejadian potensial yang dapat menggagalkan pemasok mendapatkan bahan
baku ? sebagai contoh, pemogok buruh, terputusnya transportasi, peraturan dan
kebijakan lingkungan, serta kejadian politik dalam negeri atau luar negeri.
b. Adakah
risiko-risiko mudah rusaknya bahan baku sebelum dikirim kepada perusahaan untuk
proses produksi ?
4. Hubungan
dengan buruh
a. Apabila
perusahaan bercirikan labor intensive, apakah risiko yang terjadi jika buruh
yang diperlukan tidak tersedia ?
b. Apakah ada
kemungkinan terjadi pemogokan ?
c. Apakah ada
buruh dengan status kontrak yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat ?
d. Bagaimana
pengalaman perusahaan berkaitan dengan masalah buruh ?
e. Bagaimana
pengalaman perusahaan kompetitor dalam menangani buruh ?
5. Kualitas
pabrik dan mesin
a. Bagaimana
kondisi umum pabrik dan mesin-mesin ?
b. Apakah sudah
modern atau usang ?
c. Apakah
perusahaan selalu memelihara pabrik dengan teknologi modern atau perusahaan
kempetitor telah mempunyai mesin berteknoligi modern ?
d. Apakah jenis
dan jumlah energi yang diperluakan ?
e. Apakah ada
kemungkinan mengalami kekurangan energi atau harga energi naik ?
f. Apakah ada
kemungkinan perusahaan ditutup berkaitan dengan kegagalan memenuhi aturan
lingkungan ?
6. Produk
perusahaan
a. Apakah
produk perusahaan ?
b. Apakah
barang mewah atau kebutuhan primer ?
c. Apakah ada
pengaruh risiko mode (fashion) ?
d. Apakah
produk telah mengikuti tren teknologi ?
e. Berkaitan
dengan permintaan nasabah, apakah jumlah produk akan menurun di masa mendatang
?
f. Apakah ada
perusahaan lain yang akan mengganti produknya ?
g. Apakah
produk ini termasuk warabala (franchise) atau izin khusus ?
h. Bagaimana
promosi produk ?
i. Bagaimanakah
situasi ekonomi yang berpengaruh pada permintaan produk
perusahaan ?
· Pemasaran
1. Apakah ada
perusahaan yang memiliki keunggulan tertentu atau sebaliknya ?
2. Apakah penjulan
melalui sistem distributor atau melalui penjualan borongan/grosir (wholesale)
independen ?
3. Apakah
peraturan pemerintah berpengaruh pada kemampuan perusahaan untuk menjual
produknya ?
4. Siapakah
pembeli produk perusahaan ? Apakah pembeli langsung atau distributor ?
Dimanakah lokasi pembeli secara geografis ? Apakah ada kejadian potensial yang
dapat berpengaruh pada kemampuan perusahaan dalam menjual produk ? Apakah
penjualan dilakukan secara tunai atau tempo ?
5. Siapakah
kompetitor utama ? Bisakah kompetitor menggantikan perusahaan dalam pasar ?
Berapakah pangsa pasar (market share) perusahaan terhadap kompetitor dalam
industri sejenis ?
Aspek Syariah dan Legalitas
Kelengkapan legalitas pribadi dan
legalitas usaha nasabah harus diteliti dengan seksama. Selain itu, keabsahannya
juga perlu diperhatikan dalam hal ini, dikeluarkan oleh pihak yang berwewenang.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
1. Peneliitian
dokumen legal.
2. Usaha tidak
melanggar syariah.
3. Kesesuaian
kebutuhan dan perencanaan.
4. Pembiayaan
dan akadnya sesuai syariat.
5. Kewenangan
para pihak.
6. Penilaian
jaminan.
7. Pengikatan
dan jaminan.
Analisis Kuantitatif
Analisis Horizontal (Tren)
1. Untuk
membandingkan kinerja usaha nasabah pada periode tertentu, sesuai kebutuhan
analisis.
2. Rasio dan
pos-pos penting laporan posisi keuangan-laba rugi yang dibandingkan disesuaikan
dengan kebutuhan analisis, terutama untuk mengetahui rasio pertumbuhan.
Analisis Vertikal (Rasio)
Membandingkan di antara pos penting
dalam laporan keuangan dalam satu periode tertentu. Pos pada laporan posisi
keuangan adalah rasio likuiditas dan laverage (solvabilitas), sedangkan pada
laba rugi adalah rasio rentabilitas dan efisiensi.
1. Rasio
likuiditas : Kemampuan penyediaan kas guna menutupi kewajiban dalam jangka pendek.
a. Quick Ratio
= (Kas + Bank) ÷ Utang Lancar
b. Current
Ratio = Aset Lancar ÷ Utang Lancar
2. Laverage
ratio : kemampuan nasabah untuk membayar seluruh kewajibannya dari modal atau
aset yang dimiliki.
DER (Debt to Equity Ratio) = (Utang
Lancar + Utang Jangka Panjang) ÷ Modal
3. Rentabilitas
: Mengukur kemampuan menghasilkan laba dan efisiensi usaha
a. PM (Profit
Margin) = Laba Bersih ÷ Pendapatan
b. BOPO = Biaya
Operasional ÷ Pendapatan Operasional
Analisis Arus Kas
Arus kas (cash flow) berupa
pemasukan dan pengeluaran kas secara riil, sehingga dapat diketahui surplus
atau defisitnya, serta sumber-sumber kas yang ada. Analisis arus kas sangat
diperlukan dalam pembiayaan dengan pola bagi hasil. Pendekatan yang digunakan
adalah dengan memilah ke dalam pos-pos tertentu, seperti pos operasional atau
non-operasional, dan pos-pos lainnya.
Analisis Kebutuhan Pembiayaan
· Pembiayaan
konsumtif
a. Kegunaan :
Pembelian barang atau kebutuhan nasabah yang tidak terkait dengan usaha.
b. Pendekatan :
Cek rasio pendapatan dibandingkan dengan jumlah angsuran perbulan, di mana
maksimum adalah sebesar 40%. Cek utang lain yang mungkin ada. Selain itu, cek
dokumen dan keabsahan barang yang dibeli.
· Modal kerja
a. Keguanaan :
Untuk pembelian bahan baku atau jadi, serta untuk biaya produksi atau
penjaualan.
b. Pendekatan :
Dengan cara mengetahui kapasitas maksimum perputaran usaha. Perputaran Modal
Kerja (WCTO) = Perputaran Piutang (RTO) + Perputaran Persediaan (ITO).
Kebutuhan MK + WCTO × HPP × Proyeksi Penjualan.
· Pembiayaan
investasi
a. Kegunaan :
Pembelian mesin produksi, gedung, dan sarana lain.
b. Pendekatan :
Cek harga atau kebutuhan dana riil, cek kemanfaatan, cek kemampuan keuangan,
serta cek keabsahan dokumen.
Kesimpulan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam analisis pembiayaan di bank syariah adalah sebagai berikut:
Pendekatan analisis pembiayaan
1. Pendekatan
jaminan
2. Pendekatan
karakter
3. Pendapatan
kemampuan kepuasan
4. Pendekatan
dengan studi kelayakan
5. Pendekatan
fungsi-fungsi bank
Prinsip Analisis Pembiayaan
Prinsip analisis pembiayaan
didasarkan pada rumus 5C (Character, Capacity, Capital,
Colateral, Condition). ditambahkan dengan 1C yaitu Constraint.
1. Skema
dan akad Bank dan Perusahaan Pembiayaan
Lembaga pembiayaan (financing institution) di
Indonesia mulai berkembang dengan dikeluarkannya Paket Deregulasi 27 Oktober
1988 (Pakto 88) dan Paket Deregulasi 20 Desember (Pakdes 88). Eksistensi
Lembaga pembiayaan di Indonesia diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 61
Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang disempurnakan dengan Peraturan
Presiden RI No. 9 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan. Berdasarkan Pasal 1 butir (1) Peraturan Presiden No 9 tahun 2009
yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah ‘badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal’.
Definisi di atas menggambarkan bahwa lembaga pembiayaan
merupakan lembaga keuangan non-bank yang kegiatan usahanya lebih menekankan
pada sektor pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana dan barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Dengan kata lain
perusahaan pembiayaan dilarang menarik dana masyarakat secara langsung, seperti
yang dilakukan bank, dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu. Hal ini yang membedakan antara lembaga
pembiayaan (financing institution) dengan lembaga keuangan (financial
institution). Lembaga pembiayaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden No. 9, terdiri dari Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura,
dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Berkembang pesatnya bisnis syariah di Indonesia turut
mempengaruhi bisnis lembaga pembiayaan untuk beroperasi berdasarkan prinsip
syariah. Menurut laporan OJK tahun 2013 terkait Perkembangan Keuangan Syariah,
dari 3 lembaga pembiayaan yang ada, baru 2 lembaga pembiayaan yang beroperasi
berdasarkan prinsip syariah, yaitu lembaga pembiayaan dan perusahah modal
ventura (PMV). Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat keberadaan kedua
lembaga tersebut.
Perusahaan Pembiayaan Syariah
Pada tahun 2006 Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Kemudian pada tahun 2014
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan No. 29/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Tujuan dikeluarkannya POJK ini
untuk mendukung perkembangan perusahaan pembiayaan yang dinamis dan mewujudkan
industri perusahaan pembiayaan yang tangguh, kontributif, inklusif serta berkontribusi
untuk menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan.
Terkait dengan perusahaan pembiayaan syariah, untuk
memberikan kerangka hukum yang memadai dalam menjalankan aktifitasnya, pada
tahun 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan Lembaga Keuangan
mengeluarkan dua peraturan, yaitu peraturan Nomor: PER-03/BL/2007 Tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Nomor:
PER-04/BL/2007 tentang Akad-Akad yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahan
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 POJK No. 29, dijelaskan bahwa
Perusahaan Pembiayaan adalah ‘badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang dan atau jasa’. Berdasarkan definisi ini dapat kita
pahami yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan syariah adalah perusahaan
pembiayaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan atau
jasa berdasarkan prinsip syariah.
Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan
Syariah
Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Presiden No. 9/2009
tentang Lembaga Pembiayaan, ‘Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan
Konsumen dan/atau Kartu Kredit.’ (Lihat juga Pasal 2 POJK No. 29). Ketentuan
ini secara jelas mengatur bahwa perusahaan pembiayaan hanya boleh melakukan
kegiatan pembiayaan yang terkait dengan empat bentuk kegiataan usaha di atas.
Kegiatan usaha ini juga berlaku atas perusahaan pembiayaan
syariah, hanya saja dalam melakukan kegiataanya perusahaan pembiayaan syariah
harus menyalurkan dananya berdasarkan prinsip syariah. Perusahaan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
perusahaan pembiayaan konvensional. Kegiataan usaha pembiayaan dan sumber
pendanaan perusahaan pembiayaan syariah harus sesuai dengan ajaran Islam (in
complinace with syariah) yang bebas dari unsur riba, haram, dan gharar.
Oleh karena itu, perusahaan pembiayaan syariah harus diatur dalam peraturan
yang jelas.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, untuk memberikan
kerangka hukum yang jelas dan memadai terhadap sumber pendanaan, pembiayaan dan
akad syariah yang menjadi dasar kegiataan perusahaan pembiayaan syariah, Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) mengeluarkan peraturan
No: PER-03/BL/2007 tentang Kegiataan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah dan No: PER-04/BL/2007 tentang Akad-Akad yang Digunakan Dalam Kegiataan
Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 5 Peraturan Ketua
BAPEPAM LK No: PER-03/BL/2007 jelas menyatakan: “Setiap perusahaan
pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib
menyalurkan dana untuk kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.”
Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, sebagaimana
menurut Pasal 1 butir 6 adalah sebagai berikut: “Prinsip Syariah adalah
ketentuan hukum Islam yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional
perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis syariah
dengan pihak lain yang telah dan akan diatur oleh DSN-MUI.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa
kepatuhan terhadap prinsip syariah bagi perusahaan pembiayaan yang menjalankan
aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah adalah suatu kemestian yang tidak
boleh dilanggar. Prinsip syariah tersebut merupakan peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam
bentuk fatwa. Fatwa ini sebagai guideline bagi perusahaan
pembiayaan syariah dalam menjalankan kegiatan pembiayaannya.
Adapun yang dimaksud dengan kegiatan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, sesuai yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Ketua BAPEPAM LK
No: PER-03/BL/2007 adalah sebagai berikut:
- Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan: Ijarah; Ijarah Muntahiya Bittamlik;
- Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
- Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan: Murabahah; Salam; atau Istishna’.
- Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
- Kegiataan pembiayaan lainya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
Pada dasarnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
kegiataan usaha perusahaan pembiayaan konvesional dengan perusahaan pembiayaan
syariah adalah sama, yang membedakan antara keduanya adalah model akad yang
digunakan dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut. Ketentuan di atas
menjelaskan akad-akad apa saja yang sesuai untuk diaplikasikan pada setiap
kegiataan usaha yang ada. Namun yang penting untuk dipahami adalah, sesuai
dengan Pasal 6 huruf e di atas, perusahaan pembiayaan syariah bisa melakukan
atau mengembangkan model kegiataan pembiayaan lain diluar model kegiataan
pembiayaan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, ada peluang bagi perusahaan
pembiayaan syariah untuk mengembangkan produk-produk pembiayaan baru yang lebih
variatif yang dianggap profitable sehingga kegiataan perusahaan menjadi
lebih berkembang. Produk-produk baru tersebut baru bisa dijalankan oleh
perusahaan pembiayaan syariah setelah mendapatkan opini dari Dewan Pengawas
Syariah dan disetujui oleh OJK.
KASUS PT. SUNPRIMA NUSANTARA PEMBIAYAAN
Kasus di sektor
keuangan yang menyedot perhatian masyarakat. Perusahaan multifinance PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) diketahui
merugikan 14 bank di Indonesia hingga triliunan rupiah.
SNP Finance
merupakan bagian dari Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang
secara kredit. Dalam kegiatannya SNP Finance mendapatkan dukungan pembiayaan
pembelian barang yang bersumber dari kredit perbankan. Deputi Komisioner
Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy Purnomo
mengungkapkan jika permasalahan pada SNP Finance sudah terdeteksi sejak Juli
2017.
OJK kemudian meminta
dilakukan pemeriksaan kepada pihak perbankan secara internal dan oleh pengawas. Pada 2018, OJK
kembali melakukan evaluasi. Lembaga ini dikatakan terlebih dulu memberi
kesempatan kepada internal perbankan untuk menyelesaikan saat diketahui terjadi
masalah.
Permasalahan yang ada
terkait data yang diberikan SNP. Adapun mekanisme pemberian pinjaman
kepada SNP Finance yang dilakukan dengan sistem executing.
Bank memberikan
kredit berupa joint financing atau memberikan langsung ke
perusahaan pembiayaan tersebut. Kemudian SNP Finance yang meneruskannya kepada
pengguna.
Untuk mendapatkan
kredit ini, terlebih dulu ditunjuk auditor publik yang bertugas memeriksa
laporan keuangan. Auditor yang ditunjuk adalah Kantor Akuntan Publik (KAP)
Deloitte yang menilai kondisi keuangan SNP Finance. Kemudian seiring dengan
turunnya bisnis toko Columbia, kredit perbankan tersebut mengalami permasalahan
menjadi Non Performing Loan (NPL).
Kondisi tersebut
telah diantisipasi perbankan dengan melakukan pencadangan (PPAP) pada tahun
yang sudah lewat, sehingga perbankan dapat meng-absorb risiko gagal bayar.
Salah satu tindakan
yang dilakukan oleh SNP Finance untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut
adalah melalui penerbitan Medium Term Note (MTN), yang diperingkat oleh Pefindo
berdasarkan laporan keuangan SNP yang diaudit DeLoitte.
Sebelumnya diketahui
jika SNP Finance mendapatkan peringkat efek periode Desember 2015-2017
idA-/stable dari Pefindo. Kemudian pada Maret 2018, rating SNP Finance
naik menjadi idA/stable.
Namun Pefindo kembali
menurunkan rating SNP Finance sebanyak 2 kali. Pertama pada bulan Mei 2018,
diturunkan menjadi idCCC/credit watch negative dan pada bulan yang sama
menurunkan lagi ke peringkat idSD/selective default.
Akhirnya, saat
terjadi permasalahan, SNP Finance mengajukan penundaan kewajiban pembayaran
utang (PKPU) terhadap kewajibannya sebesar kurang lebih Rp 4,07 triliun, yang
terdiri dari kredit perbankan Rp 2,22 triliun dan MTN sebesar Rp 1,85 triliun.
PT Bank Mandiri Tbk
angkat bicara mengenai kasus pembobolan dana di 14 bank oleh Lembaga pembiayaan
PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) yang merupakan anak usaha
Columbia. Bank Mandiri termasuk salah satu bank tersebut.
Corporate Secretary
Bank Mandiri Rohan Hafas menjelaskan, SNP Finance adalah perusahaan pembiayaan
yang menjadi debitur Bank Mandiri sejak 2004. Selama belasan tahun menjadi
debitur Bank Mandiri, SNP Finance memiliki catatan yang baik dengan kualitas
kredit yang lancar. Hal ini juga yang membuat banyak bank kemudian ikut
memberikan pembiayaan kepada SNP Finance.
Atas hal tersebut,
Bank Mandiri melihat permasalahan di SNP Finance saat ini bukan semata-mata
disebabkan oleh ketidak hati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit. Apalagi
saat ini regulator telah menetapkan rambu-rambu yang sangat ketat bagi
perbankan.
SNP Finance
mengajukan PKPU Sukarela, setelah kualitas kredit turun menjadi kol. 2. Modus
ini sering dilakukan dengan memanfaatkan celah dari ketentuan hukum terkait
Kepailitan WT